Jumat, 12 Desember 2008

Self-efficacy Karyawan dilingkungan kerja (Pendekatan Social Cognitive)

I. Pendahuluan

Menurut Bandura (1997), Self efficacy merupakan keyakinan seseorang untuk melakukan suatu perilaku dalam situasi tertentu, sekuat apa individu mampu bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam tugas tertentu yang akan mempengaruhi pekerjaan dimasa mendatang.

Self efficacy individu di hasilkan dari sebuah pengalaman yang pernah dilakukan sebelumnya, mengamati perilaku orang lain (kesuksesan/kegagalan yang dialaminya), hasil perbincangan dengan individu lain baik berupa semangat ataupun menjatuhkan performa dan yang terakhir adalah peranan emosi selama proses pengalaman berlangsung.

Bandura membuat sebuah eksperimen mengenai konstruk self efficacy dibidang kesehatan yang terkait dengan aspek fisiologi dan hasil dari eksperimennya adalah individu yang tidak memiiki self efficacy mengalami stres yang berdampak pada kesehatan dan sistem imunnya.

Kali ini Penulis akan menitik beratkan self efficacy karyawan dilingkungan kerja yang terkait dengan perfoma dan adaptasi. Walaupun self efficacy merupakan karakteristik internal yang mempengaruhi perilaku dan reaksi dalam cara yang relatif konstan dan terprediksi, self efficacy juga ditentukan oleh situasi.

Pendekatan sosial kognitif akan berperan penting dalam proses pembelajaran karyawan untuk meningkatkan self efficacy dilingkungan kerja. Menurut Bandura (1986, 1997, 2000, 2001) didalam buku (Santrock, 2004) mengungkapkan bahwa ketika individu sedang mengalami proses pembelajaran maka mereka mampu merepresentasikan atau mentransformasikan pengalaman secara kognitif dan Bandura mengembangkan model determinasi resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu: (a) perilaku, (b) lingkungan, dan (c) kognisi (person). Ketiga faktor itu saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Oleh karena itu, pendekatan sosial kognitif yang terjadi dilingkungan kerja merupakan suatu proses pembelajaran individu/karyawan agar mampu beradaptasi sehingga mempengaruhi kinerjanya.

II. Gambaran Kasus

Subjek merupakan seorang karyawan swasta yang memiliki kecenderungan berpindah-pindah tempat kerja dalam waktu yang singkat. Semenjak kelulusannya dari sebuah Universitas swasta empat tahun yang lalu, Subjek telah berpindah kerja lebih dari empat kali.

Kecenderungan ini membuat Subjek sulit untuk berpindah ke level selanjutnya karena ketika memasuki sebuah perusahaan baru, level yang diambil adalah level pemula. Subjek selalu mengeluhkan kondisi kerja yang kurang nyaman seperti rekan kerja yang tidak kooperatif, atasan yang pilih kasih, tidak ada tantangan dalam bekerja, gaji kecil, hingga masalah gengsi dari sebuah perusahaan tersebut.

Meskipun Subjek pindah keperusahaan lain dan mengalami peningkatan dari perusahaan sebelumnya, tetap saja Subjek tidak mampu mempertahankan diri untuk waktu yang lama.

Pada awal bulan Subjek bekerja diperusahaan baru, biasanya Subjek menjadi karyawan teladan. Tidak pernah terlambat, mampu mengerjakan tugas dengan baik dan tepat waktu, tidak mengeluh meskipun beban pekerjaan diluar deskripsi yang telah ditentukan, tetapi ketika memasuki bulan berikutnya Subjek akan mengalami penurunan minat terhadap pekerjaannya dan biasanya Subjek memiliki ritual tidak masuk seminggu sekali diluar hari liburnya, tugas yang diberikan sering kali tidak sesuai tenggat waktu karena Subjek sering menunda untuk mengerjakan dan mulai mengeluhkan mengenai rekan kerja ataupun kondisi dikantor yang tidak nyaman.

Sehingga pada akhirnya, Subjek akan memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan mulai mencari tempat baru.

Apa yang menjadi masalah didalam kasus ini? Penjelasan akan diuraikan di bagian selanjutnya.

III. Pembahasan

B. Lyn Ware seorang psikolog dibidang Industri dan Organisasi mengatakan bahwa seorang karyawan setidak-tidaknya membutuhkan waktu kurang lebih 1.5 tahun untuk mampu beradaptasi dilingkungan kerjanya jika kurang dari 1.5 tahun seorang karyawan meninggalkan perusahaan maka mampu membuat karyawan mengalami demotivasi terhadap dirinya dan lama kelamaan akan menurunkan self efficacy.

Terkait dengan peranan lingkungan, kognisi (person) dan perilaku, Bandura menunjukkan interaksi ketiga faktor tersebut untuk mempengaruhi pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, kognisi mempengaruhi lingkungan dan terus berputar. Faktor kognisi mencakup harapan, self efficacy, strategi, pemikiran dan kecerdasan.

Model bandura diimplementasikan dengan kasus diatas:

  • Kognisi mempengaruhi perilaku, Pada awalnya ketika subjek memasuki lingkungan yang baru (kantor) maka subjek tersebut akan memiliki strategi kognitif secara khusus agar dirinya dapat diterima sehingga strategi kognitif tersebut diharapkan mampu meningkatkan perfoma serta bisa berbaur dengan lingkungan kerjanya.
  • Perilaku mempengaruhi kognisi, proses(perilaku) belajar subjek yang baik sehingga membuat dirinya mendapatkan penilaian perfoma yang baik sehingga menghasilkan ekspetasi positif terhadap kemampuannya dan dampak lainnya adalah meningkatnya kepercayaan diri subjek dan keinginan untuk berusaha lebih baik.
  • Lingkungan mempengaruhi perilaku, dilingkungan kerja (kantor) memiliki daya kompetisi yang tinggi sehingga keberhasilan subjek memunculkan gap sesama rekan. Lingkungan (atmosfir) kerja yang mulai tidak kondusif seperti: kurangnya mendapatkan informasi, “menjilat” atasan secara tidak bersih, dan jalinan komunikasi yang tidak hangat (cenderung sinis dan gossip), dll. Sehingga lingkungan kerja yang seperti itu membuat subjek merasa tidak nyaman dan lama kelamaan Subjek demotivasi dan tidak memiliki keyakinan bisa bertahan diperusahaan tersebut.
  • Perilaku mempengaruhi lingkungan, karena perilaku (perfoma) Subjek yang menurun serta kecenderungan Subjek memiliki ritual tidak masuk sehari setiap minggu diluar hari liburnya dan perilaku Subjek ini pernah ketahuan ketika atasannya menelpon kerumah untuk memastikan bahwa Subjek memang benar-benar sakit tetapi pada kenyataanya, keluarga Subjek menyatakan bahwa Subjek sudah pergi kekantor oleh karena perilaku Subjek inilah mempengaruhi lingkungan (individu-individu yang terkait dikantor) dan mencap Subjek sebagai karyawan yang tidak produktif serta lalai mengerjakan tanggung jawabnya, semenjak kejadian tersebut atasan Subjek tidak pernah mempercayai sepenuhnya lagi.
  • Kognisi mempengaruhi lingkungan, harapan dan rencana Subjek ketika mengawali kerja dikantor baru tidak sesuai dengan yang diinginkan membuat Subjek secara tidak langsung menciptakan keadaan yang membuat lingkungan kerjanya tidak menyukainya, seperti: keterlambatan dalam pengerjaan tugas, datang telat, bersikap tidak ramah, serta pesimis dalam memandang sebuah permasalahan dan tidak memiliki keyakinan akan berhasil bertahan dilingkungan kerja seperti ini.
  • Lingkungan mempengaruhi kognisi, karena lingkungan kerja ini bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi Subjek, maka Subjek membuat strategi khusus kognitif untuk keluar dari lingkungan kerja ini dan mulai membangun harapan-harapan baru diperusahaan yang lain serta menyakini diri sendiri bahwa Subjek akan bisa berhasil bertahan diperusahaan baru.

Dalam model pembelajaran model Bandura, faktor kognisi memiliki peran yang penting, faktor kognisi yang ditekankan oleh Bandura (1997,2001) didalam buku (Santrock, 2004) adalah self efficacy. Bandura mengungkapkan bahwa Subjek yang memiliki self efficacy rendah maka Subjek tidak memiliki kemauan untuk berusaha belajar dilingkungan yang kurang nyaman, Subjek cenderung menyerah dan pesimis bahwa dirinya mampu bertahan dilingkungan yang kurang nyaman.

Lalu bagaimanakah Subjek bisa mengubah perilakunya sehingga meningkatkan self efficacy karena cepat ataupun lambat jika Subjek tidak mampu mengubah perilakunya dapat membawa kerugian bagi dirinya.

Bandura memberikan sebuah kontribusi pembelajaran dengan cara imitasi atau modeling, pembelajaran ini dilakukan oleh Subjek dengan cara mengamati lalu meniru perilaku orang lain. Kegiatan ini mengurangi proses trial dan error sehingga pembelajaran dapat lebih cepat. Proses pembelajaran meniru ini memfokuskan pada proses atensi (perhatian), retensi (mengingat), produksi dan motivasi.

Di awal proses atensi, Subjek akan mulai memilih seorang model yang bisa dijadikan panutan, misalkan model tersebut adalah seseorang yang saat ini menduduki posisi penting dimana individu tersebut mengawali karirnya dari level yang paling bawah. Model tersebut mampu bertahan di tengah iklim lingkungan kerja yang berganti secara cepat. Ia menampilkan sebagai seorang individu dengan kepribadian yang tangguh tapi tidak kaku, pintar tapi tidak menceramahi, luwes tapi tidak bermuka dua, dan yang terpenting mampu menyesuaikan diri dilingkungannya. Dengan prinsip, di mana bumi di pijak ditempat itulah langit di junjung. Setelah Subjek memasuki proses atensi maka Subjek akan memasuki ke tahap selanjutnya yaitu retensi.

Pada proses retensi, Subjek akan menyimpan/mengingat perilaku maupun informasi model untuk mereproduksinya. Misalnya, ketika seorang model memberikan contoh secara non verbal kepada Subjek seperti tips dan trik menghadapi suasana yang kurang menyenangkan atau berdamai dengan rekan yang memulai kompetisi secara tidak sehat. Subjek tidak hanya mempelajari/memperhatikan perilaku model saja tetapi bisa di perkuat dengan sharing/tukar informasi kepada sesama rekan yang bekerja diindustri atau organisasi selain itu dapat di perkaya melalui buku maupun bergabung dikomunitas online (forum). Hal tersebut di lakukan agar Subjek mampu memiliki keyakinan yang kuat secara bertahap dan mengingat apa yang akan di lakukan jika Subjek berada pada kondisi seperti itu. Setelah proses retensi, Subjek akan mulai memproduksi secara nyata.

Proses produksi merupakan sebuah proses pembelajaran dimana Subjek mengalami peningkatan pengalaman hingga pada akhirnya Subjek akan memiliki gayanya sendiri dalam menghadapi suatu permasalah di kondisi tertentu. Bandura mengungkapkan ketika Subjek mampu membawa pengaruh positif pada dirinya dan lingkungan maka Subjek memiliki self efficacy yang tinggi serta termotivasi untuk bekerja.

Setiap hasil yang positif, lingkungan akan memberikan penghargaan. Penghargaan merupakan penguat yang positif bagi Subjek sehingga membuat Subjek termotivasi untuk melakukan pekerjaan. Tetapi menurut Bandura, penguatan tidak selamanya di butuhkan pada pembelajaran observasional.

Selain proses pembelajaran imitasi yang di usung oleh Bandura, ada pembelajaran dengan cara lain yaitu regulasi diri. Pembelajaran regulasi diri di kembangkan oleh Zimmerman, Bonner, dan Kovach (1996) di dalam buku (Santrock, 2004), model ini diharapkan mampu meningkatkan self efficacy karyawan dilingkungan kerja dengan melakukan tahap-tahap sebagai berikut: (a) mengevaluasi dan memonitor diri sendiri, (b) menentukan tujuan dan perencanaan strategis, (c) melaksanakan rencana dan memonitornya, dan (d) memonitor hasil dan memperbaiki strategi.

Pada langkah pertama, Subjek mampu mengevaluasi dan menilai dirinya, apakah dirinya telah mendapatkan nilai yang baik selama bekerja. Langkah selanjutnya, tentukan tujuan dan buat strategi perencanaan. Bagaimanakah Subjek mampu meningkatkan self efficacynya, misalkan Subjek membuat sebuah target jangka pendek (target yang mudah di lakukan) dan jika berhasil lanjutkan ke target yang lebih tinggi.

Langkah ketiga, Subjek membutuhkan individu lain untuk mengetahui kemajuannya sudah sampai dimana dan langkah selanjutnya evaluasi diri, apakah Subjek telah berhasil mencapai target besarnya dan jika belum maka Subjek perlu memperbaiki strategi kognitif.

Pada perkembangan regulasi diri ini di pengaruhi oleh faktor modelling dan self efficacy (Pintrich & Schunk, 2002, Zimmerman & Schunk, 2001) didalam buku (Santrock, 2004).

IV. Penutup

Pembelajaran tidak hanya di pengaruhi oleh faktor kognisi semata tetapi faktor –faktor lainnya seperti lingkungan dan perilaku yang berkaitan erat, proses pembelajaran ini akan membentuk sebuah pengalaman sehingga menciptakan keterampilan secara teknis maupun non teknis.

Albert Bandura sebagai arsitek teori kognitif sosial membuat sebuah model determinasi pembelajaran resiprokalnya yang melibatkan tiga faktor yaitu: (a) kognisi, (b) perilaku, dan (c) lingkungan. Hal yang di tekankan oleh Bandura adalah self efficacy, dimana Bandura menyatakan bahwa keyakinan Subjek untuk berhasil mengatasi situasi yang kurang nyaman atau mencapai target yang diinginkan sehingga mampu menciptakan hasil yang positif.

Pendekatan dengan pembelajaran observasi atau modelling dan imitasi merupakan kegiatan pembelajaran yang terjadi ketika Subjek mengamati dan memperhatikan perilaku model, pada pembelajaran ini terkait dengan proses atensi (memperhatikan), retensi (mengingat), produksi, dan motivasi.

Dalam hal ini, konsep pembelajaran obervasional memberikan dampak terpenting untuk meningkatkan pengalaman Subjek, penekanan pendekatan perilaku kognisi pada pembelajaran regulasi diri telah menimbulkan pergeseran penting dari pembelajaran yang di control oleh individu lain ke pembelajaran yang di control diri sendiri.

Pendekatan sosial kognitif merupakan evaluasi dari pendekatan behaviour yang lebih menekankan pada perilaku individu yang tampak saja, meskipun begitu pendekatan sosial kognitif juga mendapatkan kritikan karena pendekatan ini hanya menitik beratkan pada faktor perilaku, lingkungan dan kognisi saja tanpa memperhatikan secara detail proses-proses kognisi yang terjadi serta non developmental dan tidak memberikan cukup perhatian pada rasa penghargaan diri dan hubungan yang hangat.


VI. Daftar Pustaka

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W. H. Freeman
Santrock, J. W. (2004). Educational Psychology (2th ed.), Boston: McGraw-Hill.

Ditulis oleh:
Amalia

Metode Seleksi

Pendahuluan

Menurut Boudreau menyeleksi karyawan – karyawan yang berkualitas bagaikan menyimpan uang dibank (dikutip dari Mathis, 2004). Keputusan – keputusan seleksi merupakan bagian penting dari manajemen sumber daya manusia yang berhasil, kemajuan kinerja organisasional bagi seorang pemberi kerja mngkin berasal dari perubahan dalam program insentif, pelatihan yang lebih baik atau rancangan pekerjaan yang lebih baik. Namun jika pemberi kerja tidak memulainya dengan orang- orang yang dibutuhkan memiliki kapabilitas yang sesuai yang siap untuk bekerja.

Seleksi adalah suatu proses pemilihan orang – orang yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan pekerjaan disebuah organisasi dan juga pengangkatan karyawan untuk ke jenjang yang lebih tinggi / promosi (Mathis, 2004).

Suatu perusahan ingin melakukan suatu seleksi karyawan dan sedang ingin menentukan metode seleksi yang tepat. Sebelum memilih metode seleksi, seorang selector harus memiliki 4 (empat) elemen profil sukses yaitu What I know (knowledge), what I can do (competency), what I have done (experience), dan personal traits (personality). Profil sukses ini dapat disetarakan dengan requirement dengan perusahaan sehingga dapat menjadi pembanding dengan kapabilitas dari kandidat (Adimuktini, 2008).

Metode Seleksi

Metode seleksi memiliki banyak keragaman tergantung dengan tujuan yang ingin dicapai. Salah satunya, Berdasarkan survei internasional yang dilakukan oleh DDI (Daya Dimensi Indonesia) tahun 2004, metode seleksi yang kerap digunakan organisasi karena kualitasnya adalah :

a. Behaviour Interview

Bertujuan untuk mendapatkan evidence dari perilaku yang berkaitan dengan honesty, commitment, dan consistency di masa lalu, dan juga untuk melakukan cross check dari evidence yang diterima dari reference check yang sudah dilakukan sebelumnya secara ekstensif. Selain itu juga harus sangat berhati-hati dalam menempatkan integritas sebagai salah satu kompetensi yang dinilai dalam assessment, karena evidence harus jelas dan lengkap. Oleh karena itu untuk tidak mengambil keputusan berdasarkan 1(satu) tools saja, dan untuk penilaian dari agar tidak mengambil keputusan berdasarkan perilaku integritas semata.

b. Assessment, knowledge test

Proses assessment merupakan evaluasi terhadap perilaku seseorang yang diperlukan dalam jabatan tertentu dan knowledge test merupakan test pengetahuan yang tentunya berkaitan dengan jabatan yang diperlukan.

c. Motivational fit inventories.

Motivational fit inventories merupakan suatu alat ukur yang dapat mendefiniskan motivasi seseorang tentang jenis pekerjaan yang diharapkan.

Dianjurkan, untuk proses seleksi digunakan lebih dari satu tools sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh terhadap seorang kandidat. Namun demikian, pemilihan metode seleksi ini harus disesuaikan dengan level jabatan.

Selain itu ada beberapa pendapat yang membagi metode seleksi menjadi 5 (lima), yaitu:

a. Test (Psychometric)

Keuntungan untuk mendapatkan tes ini adalah keobjektifitasannya yang didapatkan dari standarisasi. Metode seleksi test dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. Test Tertulis

Seleksi tes dilakukan dengan cara subjektif dan objektif. Yang dimaksud subjektif adalah membuat karangan singkat untuk mendapatkan kesan tentang karakter kepribadian calon karyawan sedangkan yang dimaksud objektif yaitu menjawab pertanyaan dengan cara- cara seperti : (a) true false test, menentukan salah satu alternatif benar atau salah, (b) multiple choice test, memilih alternatif jawaban yang paling tepat diantara beberapa alternatif jawaban yang tersedia, (c) completion test, melengkapi jawaban yang sudah tersedia dan (d) short answer, menjawab pertanyaan dengan suatu jawaban yang singkat tapi jelas.

2. Test Intelegensia

Dimaksudkan untuk mengukur tingkat intelegensia yang dimiliki oleh calon karyawan dan untuk mendapatkan stándar intelegensia yang dimiliki calon karyawan.

3. Test Praktek

Dimaksudkan untuk mengetahui kecakapan dan ketangkasan mempergunakan sarana dan prasarana kerja.

Sebagai contoh, tes dimana para aplikan diminta untuk menampilkan sebuah tugas atau set tugas. Para aplikan mendemonstrasikan kemampuan mereka dengan memerankan dan menampilkan bagian dari pekerjaan. Biasa dilakukan bagi para pekerja pabrik, misalnya mereka diminta untuk mensimulasikan perencanaan mobil, adapula diminta untuk mengoperasikan komputer atau mengetik di komputer.

4. Test Kecakapan Khusus

Dilakukan dengan maksud untuk mengetahui ketangkasan jasmani, kecakapan dan ketentuan gerak, kelincahan gerak, kekuatan ingatan, serta kecakapan pengamatan.

5. Test Kepribadian/ Emosional.

Dimaksudkan untuk mengetahui syarat dan kepribadian serta kematangan emosional calon karyawan untuk jabatan- jabatan tertentu serta sebagai alat untuk memprediksi performa dalam bekerja. Menggunakan kepribadian dalam penilaian mengenai performa dalam bekerja (Day & Silverman, 1989). Dalam personality test ini tidak ada jawaban yang benar dan salah untuk setiap pertanyaannya (Kenna, 2004).

6. Test Pemahaman

Dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kecakapan pelamar dalam memahami suatu pekerjaan yang akan diberikan kepadanya kelak jika diterima ditempat kerja.

7. Test Kesehatan

Dilakukan dengan maksud untuk mengetahui tingkat kesehatan sebagai persyaratan bagi masing- masing jabatan yang memerlukan karyawan.

Keuntungan untuk mendapatkan tes ini adalah keobjektifitasannya yang didapatkan dari standarisasi.

b. Interview

Sejauh ini, selection interview adalah metode yang paling banyak digunakan. Selection interview menerapkan interaksi antar orang dan dikenal dengan “conversation with purpose”. Pencapaian tujuan dari wawancara melibatkan pertukaran antara mendapatkan dan memberikan informasi yang kompleks. Antara pewawancara dan yang diwawancara memberikan keinginan/harapan, ketakutan, ekspetasi, misconception, dan lainnya. Dengan menggunakan strategi perilaku yang sesuai, maka pewawancara dan yang diwawancara berharap untuk menyadari tujuan mereka dan peranan untuk mencapai hasil yang memuaskan. Bila tim pewawancara memiliki keahlian maka ia akan mampu meningkatkan interaksi dalam wawancara (Wicks, 1984). Selain itu juga tujuan bagi yang diwawancarai adalah untuk menerangkan keahlian dan kualifikasi yang dimilikinya, berkaitan dengan pekerjaan yang akan diisi lalu bagi pewawancara itu sendiri untuk memberi pelamar informasi tentang pekerjaan dan perusahaan dan bagi kedua belah pihak untuk mengetahui satu sama lain dan untuk menilai beberapa aspek yang lebih kualitatif dari hubungan antara keduanya ( Pophal, 2006).

Skill yang dibutuhkan dalam wawancara adalah skill yang berhubungan dengan self-awareness, awareness of social interaction processes, dan self presentation berbasis pengetahuan dasar dan informasi. Hasil yang memuaskan dari proses wawancara memerlukan persiapan yang matang. Pewawancara harus menyiapkan diri dengan benar, mengatur materi wawancara, dan mengantisipasi semua tindakan yang diperlukan. Dalam wawancara kerja sangatlah penting untuk memberikan informasi mengenai organisasi dan deskripsi mengenai kerja yang ditawarkan.

Tipe selection interview:

1. Unstrctural interview

Wawancara yang tidak berstruktur, tidak terlalu formal, pertanyaan yang ditanyakan random dan sangat singkat durasinya (Campion & Palmer,1997). Wawancara ini dilakukan oleh pewawancara yang gagal/ belum mempersiapkan diri dengan baik. Ini adalah perbincangan yang tak terencana dan tak teratur dan pada akhirnya pewawancara masih memerlukan info tambahan untuk mengambil keputusan perekrutan. Meskipun pendekatan wawancara ini tidak dianjurkan, setidaknya pada tahap awal diperlukan.

Sebagai contoh, melakukan wawancara awal untuk bagian penjualan. Obrolan non formal akan memberi kesempatan untuk menilai kemampuan percakapannya, kemampuan berinteraksi secara informal dan untuk berpikir dari sudut pandang pribadinya. Dalam situasi seperti ini, wawancara percakapan dapat dijadikan sebagai pembuka dari wawancara tahap berikutnya yang lebih teratur (Pophal, 2006).

2. Semi Structured Interview

Bentuk wawancara ini mungkin adalah teknik wawancara yang biasanya digunaan dalam penelitian sosial kualitatif. Peneliti biasanya ingin mengetahui sejumlah informasi yang bisa dibandingkan atau dikontraskan dengan informasi dari hasil wawancara lain. Biasanya dalam wawancara, si peliti bisa menggunakan wawancara yang terjadwal dengan sejumlah pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Structural interview

Memiliki kelebihan pada standarisasi pertanyaan , informasi yang tercatat, dan rating dari aplikan. Keuntungannya, hanya menanyakan pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan sehingga mengurangi informasi-informasi yang tidak relevan dan bias dalam pengambilan keputusan hasil seleksi (Conway, Jako, & Goodman, 1995; Huffcut & Arthur, 1994; Posthuma, Moregeson & Campion, 2002). Dan juga untuk mengetahui beberapa area khusus dan mengidentifikasi titik kuat dan lemah tiap- tiap kandidat ( Pophal, 2006).

4. Situasional interview by Latham & Saari ( 1984)

Pendekatannya dimulai dengan analisis kerja secara komprehensif. Situasi kunci terbentuk dengan adanya dukungan dari para ahli. Pewawancara haruslah terlatih dengan baik dan berpengalaman. Pertanyaan wawancara diantaranya studi kasus kecil dengan insiden dan keadaan yang berhubungan dengan kerja (Robbertson, Gratton,& Rout, 1990).

5. Behavioral Event Interview

Dikenal juga sebagai BAR (Behavior-Action-Result). BAR merupakan representasi informasi yang perlu didapatkan dari kandidat untuk menentukan bahwa tingkah laku di masa lalu bisa digunakan dalam situasi yang akan datang. BAR adalah proses dimana kandidat memberikan respon pada skenario jabatan yang realisti. Bentuk pertanyaannya berbeda dengan bentuk wawancara tradisional. Contoh bentuk pertanyaannya diantaranya: ”Tell me about the time when...” atau ”describe a situation...”. Diharapkan respon kandidat adalah apa yang terjadi pada situasi itu, tindakan apa yang mereka lakukan, dan seperti apa hasil yang didapatkan. Sedangkan dalam wawancara tradisional biasanya kandidat belum tentu bisa memberikan bukti.

Wawancara behavioral dianggap saat ini paling akurat dalam menentukan kinerja masa akan datang adalah bentuk dari kinerja masa lalu dengan situasi yang sama. Dalam suatu penelitian disebutkan prediksi wawancara behavioral mencapai 55 % tepat prediksi, sementara interview tradisional hanya 10 % tepat prediksi.

Teknik wawancara behavioral ini biasanya digunakan untuk mencari sejumlah karakteristik diantaranya berpikir kritis (Critical thinking), keinginan untuk belajar (Willingness to learn), keinginan untuk bepergian (willingness to travel), kepercayaan diri, kerja kelompok, profesionalisme, etika bertingkah laku, sikap positif, dan lainnnya.

Agar adil, maka perusahaan biasanya menggunakan sistem peringkatan (rating system) dalam mengevaluasi kriteria yang standar saat wawancara. Kandidat dengan nilai tertinggi adalah kandidat terbaik.

c. Referensi

Seorang karyawan yang baik sulit didapat, oleh karena itu karyawan yang baik seringkali adalah referensi seorang yang baik pula dan 90 % dari kesalahan dalam seleksi dapat dihindari melalui prosedur pengecekan referensi yang benar, terkadang HR hanya mengandalkan resume, lamaran dan wawancara ( Pophal, 2006).

Yang sering terjadi adalah HR menghubungi para referensi setelah dilaksanakan wawancara, ini bukanlah prosedur yang baik. Seharusnya HR lebih baik menyeleksi dan mengecek referensi sebelum wawancara agar lebih efektif dan tidak menyia- nyiakan waktu yang akan dipakai. Selain itu pengecekan referensi sebelum wawancara dapat memberi area tambahan untuk digali dalam wawancara dan merumuskan pertanyaan yang sesuai lebih dahulu.

Ada 3 (tiga) cara untuk mengecek referensi, yaitu : ( Pophal, 2006)

1. Secara langsung

Pengecekan yang paling efektif untuk mendapatkan informasi tentang pelamar karena dapat menilai reaksi non verbal dari calon pelamar tersebut.

2. Melalui surat/ email

Cara yang paling tidak efektif karena prosesnya dapat menjadi lambat karena tidak mengetahui apakah surat tersebut akan diterima oleh orang yang tepat dan juga sulit untuk memprediksi cepatnya sebuah respon dari penerima.

3. Melalui telepon

Cara paling umum yang digunakan dan efektif karena sifatnya langsung dan cara ini relatif tidak mahal.

d. Work Sample (Simulasi)

Metode ini melibatkan kandidat baik individual maupun kelompok bersaing menyelesaikan berbagai tes yang diperlukan untuk posisi lowong itu.

Berbagai bentuk work sampel diantaranya:

1. In Basket

In Basket adalah sebuah tes situasional yang dirancang dalam bentuk simulasi dari aspek-aspek terpenting yang ada dalam jabatan yang sedang diujikan. Prosedur seleksi in basket, seperti yang dijabarkan Munandar (2001), adalah:

Kepada para peserta diberi peran sebagai manajer dari satu perusahaan, diberi satu tumpukan/kotak surat masuk(basket), yang berisi berbagai masalah dan data. Diantara surat itu ada yang isinya penting, tidak penting, relevan, dan tidak relevan. Berdasarkan surat masuk itu, para peserta bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang dapat ia tangkap hanya menggunakan data yang ada dalam surat masuk itu dalam waktu satu jam.

2. Management Business Game

Management Business game adalah teknik simulasi dengan membagi para peserta ke dalam kelompok kecil. Dalam kelompok itu, ada yang memainkan peran sebagai manajer umum, manajer keuangan, manajer pemasaran, manajer produksi, dan manajer personalia. Para peserta ini kemudian dalam memimpin usaha mereka masing-masing (dalam peran yang diberikan) membuat perencanaan dan anggaran tahunan. Antar kelompok itu kemudian saling bersaing. Pada akhir ’catur wulan’, kelompok mendapatkan hasil dari kegiatan mereka, berupa jumlah berapa yang diproduksi, berapa yang terjual, dan berapa keuntungan dan kerugian. Berdasarkan hasil itu, setiap kelompok menyesuaikan anggaran dan perencanaan itu. Demikian yang terjadi pada ’catur wulan’ berikutnya hingga berjalan selama ’beberapa tahun’.

3. Leaderless Group Discussion dan Role Play

Dalam teknik simulasi ini, para peserta dibagi ke dalam kelompok yang berisi 6 orang. Setiap kelompok mendapatkan satu masalah untuk didiskusikan tanpa ditetapkan adanya satu pemimpin diskusi. Masalah dan data yang diperlukan diberikan kepada mereka untuk dipelajari oleh masing-masing secara tersendiri (kira-kira setengah jam). Kemudian diskusi kelompok dimulai (lama waktu yang diberikan satu jam).

4. Planning exercises

Tes ini menguji kemampuan kandidat dalam menentukan prioritas, mengatur kegiatan, penjadwalan, dan adaptasi saat menghadapi perubahan pada menit-menit terakhir. Dalam tes ini kandidat diberikan sejumlah informasi tentang suatu proyek dan mereka diminta untuk membuat perencanaan proyek itu, mulai dari penjadwalan, anggaran, hingga sumber daya yang diperlukan.

5. Analysis exercises

Tes ini menilai kemampuan kandidat dalam analisis dan melakukan penilaian. Kandidat diberikan data kualitatif dan kuantitatif mengenai sebuah organisasi dan diminta untuk memberikan kesimpulan, memberikan rekomendasi, menilai situasi organisasi atau meningkatkan produktivitas, struktur organisasi, relasi dengan konsumen, dan moral perusahaan.

6. Lecture/Presentations

Bentuk ini menilai kemampuan komunikasi kandidat. Tugas yang diberkan melibatkan proses mempersiapkan dan penyampaian presentasi pada sejumlah penilai, kelompok tertentu atau mahasiswa tingkat lanjut.

7. Computer exercises

Menggambarkan kemampuan kandidat dalam menggunakan dan menjalankan program computer

e. FGD (Focus Group Discussion)

FGD merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk seleksi, sebagai contoh mengidentifikasikan core competency bersama para pimpinan perusahaan. Dalam proses ini data atau informasi yang luas mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahan-tambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.

Beberapa perusahaan seringkali menggunakan beberapa metode seleksi yang antara lain : (Cassion, 2003).

1. Recommendation & Reference Checks

Menyediakan empat jenis info, yaitu: (a) sejarah dan latar belakang pendidikan karyawan, (b) Karakter dan interpersonal, (c) kemampuan untuk melaksanakan kerja, (d) Keinginan melamar pekerjaan.

2. Information on Application form Employment Application Form

Adanya hubungan yang signifikan antara per tanyaan-pertanyaan dalam form pendaftaran dengan ukuran job performance karyawan nantinya (tingkat absensi, keinginan untuk mencuri, dll).

3. Employment Interview

Paling banyak digunakan oleh organisasi untuk menyeleksi karyawan.

Selain metode-metode diatas, ada pula perusahaan yang menggunakan metode Assessment Centre (Pusat Penaksiran) dalam proses seleksinya. Assessment centre dapat dipahami sebagai suatu proses penilaian (evaluasi) atau peringkatan (rating) yang canggih dan dirancang khusus untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya penyimpangan atau bias sehingga para pesertanya memperoleh kesempatan setara untuk mengungkapkan potensi maupun kompetensinya dalam seperangkat metode assessment atau evaluasi yang terstandarisasi (Prihadi, 2004). Dalam hal ini karakteristik kunci assessment centre adalah tujuannya yang menghimpun indikasi terbaik mengenai kompetensi baik aktual maupun potensial, untuk melaksanakan tugasnya pada jabatan atau tingkat jabatan tertentu.

Pendekatan assessment centre ini dilakukan dengan mengkombinasikan seperangkat teknik assessment untuk mendapatkan indikasi-indikasi perilaku yang paling jelas dan paling kuat. Biasanya assessment center terdiri atas gabungan dari beberapa tes kelompok yang interaktif dengan tes tertulis misalnya in-basket dan role-play. Gabungan dari beberapa tes inilah yang kemudian menjadi kekuatan dari Assessment Centre, karena mampu menggambarkan multiple competencies. Keuntungan lainnya dibandingkan dengan tes psikometrik adalah assessment centre melibatkan atasan langsung sebagai penilai

Kerugiannya adalah mahalnya biaya dan administrasi yang kompleks yang diperlukan untuk satu kali assessment center, namun sebaliknya biaya akan menjadi efektif justru ketika assessment center digunakan untuk menyeleksi orang dalam jumlah yang besar.

Self-Control in emotion

Pendahuluan

Menurut Fromm (dikutip oleh Boeere,2004) Setiap manusia yang dilahirkan dan besar dalam suatu kebudayaan yang telah ada sebelum manusia tersebut lahir. Kebudayaan ini begitu dalam mempengaruhi nilai-nilai terdalam pada setiap individu dan peranannya yang begitu besar dalam membentuk pikiran tentang “ Inilah sesuatu yang sebenarnya” bukan “inilah sesuatu yang sebenarnya menurut masyarakat ini”

Oleh karena itu, setiap individu memiliki toleransi pengendalian terhadap dirinya secara berbeda- beda. Hal yang paling sulit dilakukan tapi paling mudah dikatakan adalah bagaimana meredam / mengalahkan emosi negatif. Setiap individu mampu memaparkan teori- teori tentang pengendalian emosi negatif, tetapi saat dihadapkan oleh suatu masalah dimana masalah tersebut merupakan trigger (pemicu) munculnya emosi maka akal sehat tidak lagi memonopolinya.

Emosi adalah kata serapan dari bahasa inggris yakni emotion. kata emotion digunakan untuk menggambarkan perasaan yang kuat akan sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat mengganggu. Dalam ilmu psikologi, emosi memiliki definisi yang cukup kompleks. Emosi dapat dipicu oleh interpretasi seseorang terhadap (a) suatu kejadian (b) adanya reaksi fisiologis yang kuat (c) ekspresi emosionalnya berdasarkan pada mekanisme genetika (d) merupakan informasi dari satu orang ke yang lainnya dan (e) membantu seseorang beradaptasi terhadap perubahan situasi lingkungan (Mendatu, 2007).

Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, kemampuan membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, kemampuan memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk memimpin (Goleman, 2000). Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, mengalami kekurangmampuan dalam pengendalian moral (Hurlock, 1994).

Definisi Pengendalian diri

Self-control atau pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat (Papalia, & Olds, 1992). Menurut Skinners, ketika seseorang memilih tindakan yang yang akan menghasilkan hasil yang positif, ketika ia dihadapkan pada dua pilihan, hasil yang positif tersebut akan menguatkan pilihannya. Dengan demikian, pada kesempatan berikutnya, individu tersebut akan kembali memilih tindakan yang positif. Inilah yang disebut sebagai self-control (Kanfer, & Phillips, 1970).

Emosi dan Pengendalian diri

Emosi bisa dibedakan dalam nilai positif dan negatif. Di antara keduanya terdapat nilai netral. Emosi netral adalah kategori emosi yang tidak jelas posisinya. Kadang bisa sebagai emosi positif kadang bisa sebagai emosi negatif, seperti misalnya terkejut dan heran. Emosi positif berperan dalam memicu munculnya emotional well-being (kesejahteraan emosional) dan memfasilitasi dalam pengaturan emosi negatif. Jika emosi positif, maka akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang. Sebagai contoh saat sedang merasa bahagia tiba-tiba ada seseorang yang marah-marah tanpa ada sebab yang jelas, reaksi spontan yang akan ditunjukan adalah adanya rasa tersinggung tapi karena pada saat itu sedang merasa bahagia (emosi positif) maka tindakan orang asing tersebut tidak terlalu membebani dirinya bahkan dirinya akan mengeluarkan energi positif lainnya, seperti mungkin orang ini butuh bantuan. Emosi-emosi yang bernilai positif diantaranya adalah sayang, suka, cinta, bahagia, gembira, senang, dan lainnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kecerdasan emosional (EQ) agar mampu mengendalikan diri. Pengertian kecerdasan secara tradisional adalah kecerdasan yang meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah). Sedangkan kecerdasan emosional salah satunya mencakup pengendalian diri. Kesanggupannya untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, kesenangan yang tidak berlebihan, cerdas mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan juga mampu berempati sehingga dapat memelihara hubungan dengan sebaik- baiknya (Secapramana, 2008).

Ciri- Ciri Individu yang Mampu Mengendalikan Diri

Menjadi suatu pertanyaan mengenai ciri-ciri atau sifat-sifat apakah yang membuat seorang individu memiliki pengendalian diri yang baik? Sejumlah besar filosof kuno, termasuk Socrates, Plato dan terutama sekali Aristoteles, banyak meluangkan waktu untuk mendiskusikan masalah sifat-sifat manusia. Dalam Nicomachean Ethics, buku etika Aristotelian, pokok bahasannya adalah karakter manusia. Dan karakter adalah jumlah total sifat seseorang, yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai dan pola berpikir.

Beberapa hal yang patut diperhatikan terhadap individu yang mampu mengendalikan dirinya, antara lain :

1. Mampu mengendalikan emosinya dengan baik

Ini merupakan kemampuan untuk meredam keinginan dan emosi yang terlalu berlebihan dan mampu mencegah tindakan – tindakan negatif saat dipicu oleh sesuatu. Dan ciri –cirinya antara lain :

a. Jauh dari stres

b. Dapat mengontrol dorongan- dorongan yang kuat dan mengetahui batasan-batasan yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukannya.

c. Selalu dapat berpikiran positif dan menjalani hidup dengan seimbang meskipun sedang dihadapi suatu masalah.

2. Dapat dipercaya orang lain

Merupakan seorang individu yang memiliki nilai-nilai diri dan perkataan yang konsisten dan mampu berkomunikasi secara baik (seperti pengungkapan ide- ide, perasaannya) secara langsung dengan keterbukaan dan kejujuran.

Dan ciri- cirinya antara lain:

- Berpegang teguh dengan pendiriannya

- Mampu mendamaikan pihak- pihak yang sedang bersitegang.

Menurut The Rosenbaum Self-control Schedule (SCS), self-control memiliki empat dimensi (Rosenbaum, 1980), yaitu:

1. Penggunaan kognisi dan pernyataan diri untuk mengendalikan respon emosional dan psikologis.

2. Aplikasi strategi pemecahan masalah

3. Penundaan kepuasan, dan

4. Kesadaran akan kemampuan diri (self-efficacy)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengendalian Diri

1. Sosialisasi

· Tingkat pengendalian diri adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sesuatu yang telah ada sejak lahir/bawaan. Rendahnya tingkat pengendalian diri atau self-control disebabkan oleh sosialisasi yang tidak efektif atau tidak lengkap, antara lain pola pengasuhan anak yang tidak efektif, termasuk mengawasi sikap anak, menyadari apabila ada tingkah yang menyimpang, dan memberikan hukuman pada tingkah seperti itu (Gottfredson, & Hirschi, 1990). Hukuman yang diberikan pada tingkah laku yang tidak sesuai aturan bila dilakukan secara konsisten akan membuat individu belajar, dan menanamkan rasa bersalah bila melakukan tindakan tersebut. (Kanfer, & Philips, 1970). Pada gilirannya, rasa bersalah ini akan membangun pengendalian diri. Sebaliknya, bertingkah laku seperti yang diharapkan akan menimbulkan respon yang postif sehingga individu merasa dihargai, sehingga terjadi reinforcement.

· Dalam tahap perkembangan anak, Erikson menyebutkan suatu tahap di mana anak mulai menyadari keinginannya sendiri sebagai individu yang terpisah dari lingkungannya, namun di lain pihak, juga mengalami rasa malu dan keragu-raguan. Dari rasa malu dan ragu-ragu ini, anak-anak belajar memahami peraturan-peraturan yang berlaku dalam kehidupan sosial, dalam mendapatkan apa yang ia inginkan. Di sini, anak-anak membutuhkan orang tua untuk memeberikan batasan. Batasan yang terlalu banyak atau sedikit justru akan membuat anak menarik diri, terlalu banyak ragu-ragu, pemalu, bahkan kehilangan rasa percaya diri. Namun bila diberikan secara proporsional, pengendalian diri yang baik akan terbentuk (Papalia, & Olds, 1992).

2. Kepuasan diri/kebahagiaan diri

Seseorang yang memiliki masalah dengan pengendalian diri memiliki kecenderungan tidak bahagia. Sebagai contoh, dalam kasus rendahnya pengendalian diri pada mereka yang mengalami obesitas, berdasarkan investigasi pada 8000 wanita, obesitas memiliki hubungan dengan rendahnya kepuasan kerja, hubungan keluarga, partner dan aktivitas sosial (Ball, 2004).

Kepuasan/kebahagiaan sangat erat kaitannya dengan penghargaan seseorang terhadap diri sendiri (self-esteem). Bukti empiris ditemukan pada 2000 orang dewasa, bahwa orang-orang dengan tingkat pengendalian diri rendah cenderung memiliki self-esteem yang rendah pula (Greeno, 1998).

3. Godaan/rangsangan dari luar

Efek dari Pengendalian Diri

1. Efek dari tingkat pengendalian diri yang rendah:

· Kebiasaan buruk yang berdampak negatif, misalnya: merokok, obesitas, dll

· Kriminalitas. Menurut Gottfredson & Hirschi (1990), rendahnya pengendalian diri ditambah dengan tersedianya kesempatan merupakan faktor utama pemicu kriminalitas.

2. Efek dari tingkat pengendalian diri yang tinggi:

· Kinerja dan produktivitas yang baik

· Achievement

Kesimpulan

Pengendalian diri merupakan bagian dari emosi, seseorang yang memiliki emosi baik maka berbanding lurus dengan pengendalian dirinya. Sangat manusiawi sekali jika sewaktu- waktu pernah kehilangan kendali atas dirinya, tetapi ada masanya harus kembali berpijak ke tanah agar segala sesuatu kembali terkendali dan mengubah energi negatif menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai sesuatu yang lebih positif.

Ditulis oleh:

Amalia, Dina Iguna, Yohanna

Kamis, 11 Desember 2008

Meningkatkan Produktivitas Perusahaan Melalui Sistem Reward dan Punishment

Pendahuluan

Pemilihan tema ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena yang menunjukkan tingkat kehadiran karyawan yang kurang, baik pada lingkup karyawan tetap maupun karyawan kontrak. Untuk mengatasinya, perusahaan menerapkan sistem reward (Penghargaan) dan punishment (Sanksi) yang digunakan sebagai sarana untuk memotivasi karyawan dalam meningkatkan kedisiplinan, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas.

Salah satu sistem reward yang digunakan adalah dengan mengadakan pemilihan karyawan terbaik pada bulan itu (employee of the month/ EOTM). Tidak berhenti pada periode bulanan, kegiatan ini bahkan juga diterapkan untuk periode tiga bulanan dan satu tahun. Sedangkan sistem punishment, berupa teguran lisan sampai sanksi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), diterapkan pada karyawan yang melanggar peraturan secara terus menerus.

Pengertian disiplin, terkandung dua faktor yang amat menentukan, yaitu faktor waktu dan faktor perbuatan/tindakan. Supaya disiplin tercipta dalam perusahaan, diperlukan tata tertib/aturan yang jelas, penjabaran tugas/wewenang yang jelas, dan tata caranya yang dapat dimengerti oleh semua anggota perusahaan (Anoraga, 2006).

Disiplin bekerja menjadi dua kategori (Hani Handoko, 1990), yaitu:

1. Disiplin Preventif

Sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mendorong karyawannya agar dapat mengikuti aturan standar dari perusahaan. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi penyelewengan dalam bekerja. Misalnya peraturan mengenai jam kerja kantor dan jam istirahat/makan. Peraturan mengenai jam-jam tersebut akan mencegah karyawan datang terlambat atau mengambil waktu istirahat/makan lebih lama dari yang telah ditetapkan.

2. Disiplin Korektif

Kegiatan- kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan- aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran lebih lanjut. Oleh karena itu, menjadi suatu topik yang menarik untuk membahas kedisiplinan dan sikap kerja yang baik.

Ciri- Ciri Karyawan yang Disiplin

Karyawan yang disiplin cenderung ”dibenci” oleh rekannya karena menganggap terlalu mengabdi terhadap perusahaan, kaku, konservatif dan seringkali dianggap menjilat atasan.

Membentuk suatu sikap disiplin bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan adanya budaya melanggar peraturan yang nyata dalam opini bahwa aturan dibuat untuk dilanggar.

Namun, sikap tidak disiplin tersebut dapat diubah. Sikap adalah orientasi seseorang pada objek yang berlangsung pada kutub negatif hingga ke kutub positif. Menurut lapisan manusia secara psikologis, sikap berada di lapisan ketiga. Sehingga masih bisa diubah dengan dibantu oleh suatu persepsi dan tingkah laku. Dengan pembelajaran dan pemberitahuan secara terus menerus, lambat laun sikap disiplin akan muncul.

Berdasarkan tinjauan bebas, ciri-ciri karyawan-karyawan yang memiliki kedisiplinan tinggi adalah :

1. Menghargai waktu

Datang sesuai jam kerja yang ditentukan serta pulang sesuai dengan jam yang telah ditentukan oleh perusahaan.

2. Menghargai pekerjaan

a. Bertanggung jawab pada pekerjaan yang diberikan

tugas yang menjadi tanggung jawabnya akan dikerjakan dengan baik tanpa mengeluh. Ia tidak membuang waktu untuk mengobrol mengenai hal-hal di luar pekerjaannya, maupun bergosip dengan karyawan lain selama jam kerja.

b. Proaktif/inisiatif

Ia dapat memberikan ide-ide baru untuk pengembangan produk atau pelayanan lainnya.

3. Menghargai perusahaan

Dapat memahami mengapa perusahaan membuat suatu kebijakan yang salah satunya mencakup masalah hak dan kewajiban karyawan. Dengan kata lain, karyawan tersebut:

a. Patuh,

b. Loyal, dan

c. Berkomitmen pada perusahaan.

Ada beberapa cara untuk meningkatkan disiplin karyawan, antara lain dengan pemberian reward gelar employee of the month, dan sistem punishment.

Beberapa contoh kriteria employee of the month di bawah ini juga dapat menjadi masukan untuk mengenali ciri-ciri karyawan yang memiliki kedisiplinan tinggi.

Kriteria Employee of the Month:

1. Tingkat kehadiran: diukur dari data absensi karyawan.

2. Sikap kerja yang positif:

- datang tepat waktu

- bersikap baik selama jam kerja, misalnya tidak merokok/makan selama kerja.

3. Memiliki nilai-nilai tambah:

- Customer Satisfaction Oriented ( Mampu melayani klien dengan baik dan ramah)

- Suggestion System (memberikan ide-ide kreatif untuk menunjang kerja)

- Quality Control System (performa yang menunjukan adanya perbaikan yang berkesinambungan)

Sedangkan contoh kriteria punishment di bawah ini dapat menunjukkan ciri-ciri karyawan yang kurang disiplin.

Kriteria punishment:

Karyawan yang melanggar peraturan perusahaan akan diberikan teguran lisan terlebih dahulu. Jika aturan-aturan tersebut masih terus dilanggar secara sengaja/tidak disengaja, maka perusahaan berhak memberikan Surat Peringatan (SP) yang dimulai dari 1 (teringan) hingga 3 (beresiko pengeluaran karyawan dengan tidak hormat dari perusahaan). Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk aplikasi untuk mewujudkan kedisiplinan dalam bekerja, sehingga bisa menciptakan budaya perusahaan yang baik dengan atmosfer kerja yang kondusif.

Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja

Disiplin akan muncul jika seorang karyawan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja. Untuk itu, harus ada hubungan kerja sama yang baik antara perusahaan dan karyawan. Perusahaan harus menyadari bahwa para karyawan adalah investasi sumber daya yang dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Sedangkan karyawan tentu mengharapkan kompensasi yang seimbang dengan tenaga, pikiran dan waktu yang telah dicurahkan untuk memajukan perusahaan tersebut.

Oleh karena itu, penghargaan yang diberikan perusahaan terhadap karyawan sangatlah berarti. Pada beberapa perusahaan, salah satu penghargaan yang diberikan terhadap karyawan yang berprestasi adalah dengan memberikan gelar sebagai ”karyawan terbaik” yang dilaksanakan setiap bulan (employee of the month). Gelar tersebut tidak didapat dengan cuma-cuma, melainkan dengan prestasi yang dibuat oleh karyawan.

Bagaimana pun juga karyawan adalah manusia yang tak luput dari kesalahan, baik karena kelalaian maupun belum memahami peraturan perusahaan. Adapun sanksi yang diberikan oleh karyawan yang melanggar kedisiplinan dalam bekerja berupa teguran halus sampai Surat Peringatan (SP).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan dalam bekerja antara lain:

· Motivasi atas dasar sikap saling menghargai.

· Reward yang akan diberikan, dalam hal ini gelar employee of the month.

· Sanksi/punishment

Efek dari Kedisiplinan dalam Bekerja: Stress VS Produktivitas

1. Stres

Disiplin sering kali dikonotasikan sebagai cara bekerja yang kaku. Hal ini tentunya tidak diharapkan oleh perusahaan, karena justru berdampak pada hilangnya kemampuan karyawan untuk dapat bertindak dan mengeksplorasi secara kreatif, bahkan menjurus pada stres.

Selain itu, karyawan baru yang belum terbiasa dengan atmosfer kerja tentu mengalami kendala dalam beradaptasi dengan peraturan-peraturan yang berbeda dengan yang selama ini dianutnya. Hal ini juga sangat mungkin menimbulkan stres.

Stress didefinisikan sebagai suatu tanggapan penyesuaian yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi atau peristiwa dilingkungan luarnya yang menetapkan tuntutan berlebihan pada seseorang (Gibson, 1996). Untuk mengatasinya, perusahaan bisa memberikan fokus perhatian pada keadaan lingkungan khusus sebagai sumber potensial dari stress (stressor). Apakah stres dirasakan atau dialami oleh karyawan khusus tergantung pada karakteristik unik yang bersifat individual.

Stress adalah suatu tanggapan nonspesifik terhadap setiap tuntutan yang dibuat pada satu organisme dan dinamakan reaksi pertahanan tiga fase yang seseorang lakukan ketika stress sebagai sindrom penyesuaian umum ( Selye, 1976).

Sindrom penyesuaian umum ini terbagi menjadi 3 (tiga) reaksi yaitu sinyal (alarm), perlawanan (resistance), dan keletihan (exhaustion).

Tahap pertama, sinyal adalah mobilisasi awal dengan badan menemui tantangan yang diberikan oleh penyebab stres, ketika penyebab stres ditemukan, otak mengirimkan suatu pesan biokimia kepada semua sistem tubuh. Pernafasan meningkat, tekanan darah naik, anak mata membesar, ketegangan otot naik. Jika penyebab stress terus aktif, sindrom ini akan memasuki ke tahap selanjutnya yaitu perlawanan.

Tahap kedua, perlawanan adalah tanda-tanda masuknya perlawanan dan mempengaruhi ke emosi seseorang seperti selalu merasa letih, takut, cemas dan selalu menghadapi segala sesuatu dengan ketegangan. Dan dapat mempengaruhi kesehatan secara fisik sehingga menyebabkan sakit. Jika tahap kedua masih belum dapat diatasi maka selanjutnya ke tahap ketiga yaitu keletihan.

Seorang karyawan tidak mampu melawan/menghadapi stres untuk jangka waktu yang cukup panjang dan terus menerus mengakibatkan menaikkan penggunaan energi penyesuaian yang bisa diapai, dan sistem menyerang penyebab stres sehingga menjadi letih.

Bagaimanakah perusahaan dapat menyikapi masalah disiplin dengan stres? Perlu dijelaskan dari esensi kerja itu sendiri terhadap para karyawannnya. Kerja bukanlah sekedar melakukan tugas kantor selama 40 jam per minggunya, tetapi juga aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kepuasan mereka, identitas dalam pekerjaan mereka. Menurut Maslow mengenai hirarki kebutuhan sebagai peningkat motivasi, seorang individu memiliki kebutuhan agar dapat mengaktualisasikan dirinya dilingkungan.

2. Produktivitas

Bila disiplin kerja diterapkan secara tepat dan profesional dan sesuai kondisi, disiplin tentu takkan membawa karyawan pada stres. Sebaliknya, sikap kerja yang disiplin akan membuat karyawan menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan dengan hasil maksimal, sehingga karyawan tidak merasa diburu target. Efeknya terhadap perusahaan tentu adalah meningkatnya produktivitas.

Produktivitas adalah sebuah konsep efisiensi yang menjelaskan rasio hasil kerja relatif terhadap usaha yang dilakukan (Bartol, & Martin, 1998). Banyak orang berpendapat bahwa produktivitas kerja adalah mendapatkan hasil yang lebih banyak, dengan cara meningkatkan usaha yang sebanyak-banyaknya pula. Namun arti produktivitas yang sebenarnya adalah mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya, berkualitas lebih baik, dengan usaha yang sama. Konsep efisiensi ini dapat diwujudkan, salah satunya dengan sikap kerja karyawan yang disiplin (Anoraga, 2006).

Daftar Pustaka

  • Anoraga, Pandji, S.E., M.M. (2006). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta.

  • Bartol, Kathryn M., & Martin, David C. (1998). Management. New York: McGraw-Hill.

  • Gibson, L. J., Ivancevich, M. J., & Donelly, H.J. (1996). Organisasi. In Saputra, L (Ed). Jakarta : Binarupa Aksara.

  • Selye, H. (1976). The stress of life. New york : Mcgraw- Hill
Ditulis oleh:
Amalia, Dina Iguna, Yohanna